Jurnipos.com, Jakarta — Polemik soal praktik debt collector atau yang dikenal di masyarakat sebagai mata elang kembali mencuat di media sosial.

 

Sejumlah video dan pemberitaan menampilkan aksi penagihan yang berujung kekerasan, pemaksaan, hingga perampasan kendaraan di jalan.

 

Namun, pelaku usaha jasa penagihan menilai persoalan ini tak bisa dilihat secara sepotong-sepotong melainkan harus secara keseluruhan.

 

Salah satu pemilik perusahaan Jasa Penagihan, Zulham Mulyadi Nasution, mengatakan akar persoalan kemunculan debt collector berawal dari adanya pelanggaran kontrak pembiayaan antara debitur dan perusahaan pembiayaan yang dilakukan debitur.

 

“Awal masalah bukan pada profesi penagihan yang dijalan oleh DC atau perusahaan Jasa Penagihan, tetapi pada kontrak pembiayaan yang tidak dijalankan oleh debitur, dengan tidak memenuhi kewajibannya sesuai perjanjian pembiayaan yang merupakan suatu undang-undang yang mengikat Debitur dan Kredutur, di situlah persoalan bermula,” kata Zulham kepada wartawan, Senin, 15 Desember 2025.

 

Menurut Zulham, sebelum melibatkan pihak ketiga (DC atau perusahaan jasa penagihan), perusahaan pembiayaan telah menempuh berbagai langkah internal, mulai dari surat peringatan, kunjungan persuasif, hingga negosiasi, tapi debitur tetap tidak melaksanakan kewajiban pembayaran angsuran sesuai perjanjian pembiayaan, dan Debt collector baru dilibatkan ketika upaya internal dinilai tidak lagi efektif.

 

“Biasanya penanganan eksternal dilakukan ketika debitur sudah menunggak angsuran lebih dari 2 bulan, tidak kooperatif saat ditangani pihak internal perusahaan pembiayaan, pindah alamat, unit dipindahtangankan, atau kendaraan tidak lagi dikuasai debitur,” ujarnya.

 

Zulham menegaskan profesi debt collector legal dan diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Aturan itu antara lain tercantum dalam POJK yang memperbolehkan perusahaan pembiayaan melimpahkan penagihan kepada pihak ketiga berbadan hukum dan bersertifikasi.

 

Namun, ia menolak tegas praktik penagihan yang mengandung unsur pidana.

 

“Kami tidak membenarkan tindakan intimidasi, perampasan, atau kekerasan. Itu pelanggaran hukum dan bukan bagian dari SOP penagihan,” katanya.

 

Di perusahaan yang dipimpinnya, Zulham menyebut penyerahan kendaraan harus dilakukan berdasarkan kesepakatan debitur atau pemakai unit dengan DC yang menangani”.

 

Jika dalam proses penagihan ditemukan unsur paksaan atau pelanggaran hukum, pihaknya menolak menerima unit jaminan tersebut.

 

Zulham juga mengingatkan bahwa tingginya kredit bermasalah tidak hanya merugikan perusahaan secara finansial, tetapi juga berpotensi menimbulkan sanksi regulator dalam hal ini OJK.

 

“Perusahaan pembiayaan wajib menjaga rasio kredit bermasalah di bawah 5 persen dari pembiayaan yang sudah kucurkan kepada masyarakat, Kalau lebih dari 5%, bisa dikenai sanksi oleh OJK,” ujarnya.

 

Ia menilai generalisasi terhadap profesi debt collector sebagai pelaku kekerasan adalah keliru.

 

“Oknum pasti ada di setiap profesi. Tidak adil jika satu-dua kasus lalu menghakimi seluruh profesi debt collector,” kata Zulham.

 

Di sisi lain, Zulham mendorong kehati-hatian masyarakat sebelum mengambil pembiayaan.

 

“Kalau sejak awal sadar kemampuan bayar debitur, dan mau menjalankan kontrak pembiayaan dengan membayar angsuran sesuai kontrak, pasti tidak ada konflik” ujarnya.

 

Ia menambahkan, keberlangsungan investasi dalam industri pembiayaan juga bergantung pada kepastian hukum.

 

Tanpa perlindungan terhadap proses penagihan piutang yang sah, Zulham menilai kepercayaan investor pada bidang pembiayaan bisa menurun.

 

“Pembiayaan dibutuhkan masyarakat luas. Tapi keberlanjutannya juga perlu dijaga dengan adanya jaminan dan perlindungan hukum bagi perusahaan pembiayaan dalam menangani piutang-piutang nya yang kategorinya sudah tidak lancar atau macet, dan DC atau Perusahaan Jasa Penagihan disini posisinya membantu perusahaan pembiayaan menangani piutang-piutang yang bermasalah tersebut ,” kata dia.***

PREVIOUS POST
You May Also Like

Leave Your Comment:

Your email address will not be published. Required fields are marked *