JAKARTA – Pemerintah terus berupaya menertibkan lahan kelapa sawit ilegal yang masih beroperasi di Indonesia. Hingga Januari 2025, tercatat ada 194 perusahaan pemegang Izin Usaha Perkebunan (IUP) kelapa sawit dengan luas lahan mencapai 1.081.022 hektare (ha) yang belum mengajukan Hak Atas Tanah (HAT).

 

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid menegaskan, pemerintah akan mengambil langkah konkret dalam menangani persoalan ini.

 

Presiden sudah membentuk Satgas Kelapa Sawit yang dipimpin oleh Menteri Pertahanan dan Wakilnya Jaksa Agung. Kami sebagai anggota akan menyerahkan kasus ini kepada Satgas untuk ditindaklanjuti,” ujar Nusron dalam Rapat Kerja bersama Komisi II DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (30/1/2025).

 

Komitmen Pemerintah dalam Penegakan Aturan

 

Menurut Nusron, 194 perusahaan tersebut dinilai kurang menunjukkan itikad baik dalam mengurus legalitas tanahnya. Ia pun menduga bahwa sebagian dari lahan tersebut berada di kawasan hutan atau tanah adat.

 

Pemerintah, kata Nusron, tidak akan tinggal diam terhadap perusahaan yang tidak patuh terhadap regulasi. Berbagai opsi sedang dipertimbangkan, termasuk sanksi pajak, denda, hingga kemungkinan pengambilalihan lahan oleh negara. “Kami bahas bagaimana pajaknya, bagaimana dendanya, apakah diambil alih negara, atau cukup didenda kemudian diberikan kesempatan mengajukan Hak Guna Usaha (HGU) baru. Semua akan diputuskan berdasarkan aturan yang berlaku,” tegasnya.

 

Ia menambahkan, membayar denda tidak otomatis memberikan izin bagi perusahaan untuk tetap beroperasi. Keputusan akhir akan mempertimbangkan sikap perusahaan serta kebijakan pemerintah dalam pengelolaan perkebunan sawit di Indonesia.

 

Upaya Pembenahan Tata Kelola Sawit

 

Saat ini, sebanyak 537 perusahaan telah memiliki IUP kelapa sawit. Dari jumlah tersebut, 193 perusahaan telah menerbitkan HAT dengan luas 283.280,58 ha. Sementara itu, 150 perusahaan lainnya masih dalam proses identifikasi dengan total lahan 1.144.427 ha. “Pemerintah memberikan batas waktu hingga 3 Desember bagi perusahaan yang sedang dalam proses pengajuan izin. Kami akan mencocokkan data untuk memastikan apakah lahan yang dimiliki masuk dalam kawasan hutan atau tidak,” jelas Nusron.

 

Terkait dengan keberlanjutan industri sawit, berbagai pihak mendorong pemerintah untuk lebih serius dalam menata kebijakan perkebunan sawit agar tidak berdampak buruk pada lingkungan dan masyarakat sekitar. Direktur Eksekutif Sawit Watch, Indah Fatinaware, mengingatkan bahwa ekspansi perkebunan sawit harus dikaji secara menyeluruh dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap keanekaragaman hayati.

 

Berdasarkan laporan International Union for Conservation of Nature (IUCN), meskipun kelapa sawit lebih efisien dibanding minyak nabati lain, ekspansi sawit berkontribusi pada deforestasi dan mengancam 193 spesies yang masuk dalam daftar merah IUCN. Oleh karena itu, pemerintah diminta untuk lebih ketat dalam menegakkan aturan dan memastikan keberlanjutan industri ini.

 

Selain itu, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Muhammad Teguh Surya, menilai bahwa kebijakan moratorium sawit dan perlindungan hutan yang telah diterapkan harus diperkuat agar tidak ada lagi lahan hutan yang dialihfungsikan untuk perkebunan sawit secara ilegal.

 

Dengan meningkatnya perhatian internasional terhadap keberlanjutan industri sawit, termasuk kebijakan Uni Eropa yang berencana membatasi impor minyak sawit dari Indonesia, pemerintah terus berupaya menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan lingkungan.

 

Langkah penegakan hukum terhadap perkebunan sawit ilegal menjadi bagian dari strategi besar dalam memastikan industri sawit Indonesia tetap berdaya saing di pasar global. (X!X)

 

 

Posted by sky
Tags:
PREVIOUS POST
You May Also Like

Leave Your Comment:

Your email address will not be published. Required fields are marked *